Sabtu, 28 Juni 2014

TEORI BELAJAR MATEMATIKA

1.       Teori Belajar Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir.
Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) prose perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3) menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan.
Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu,(dalam Hudoyo, 1990:48) Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).

PERKEMBANGAN HANDPHONE TERHADAP KALANGAN REMAJA

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah yang berjudul “PERKEMBANGAN HANDPHONE TERHADAP KALANGAN REMAJA”. Dan tidak lupa saya ucapkan trima kasih kepada bapak Herry Kresnadi selaku dosen mata kuliah penulisan karya ilmiah, sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
Karya ilmiah ini berisikan tentang pengertian handphone, perkembangan handphone terhadap kalangan remaja, dll. Diharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang pengaruh handphone. Saya menyadari bahwa karya ilmiah ini masih kurang sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata, saya mohon maaf apa bila ada kesalahan dalam kata pengantar ini. Semoga Tuhan selalu menyertai  usaha kita. Amin.

PONTIANAK, 11 JUNI 2014
  

Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving) dan Pendekatan STM dalam Pembelajaran IPS




A.    Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)

1.      Masalah dan Hakikat Pemecahannya
Berkaitan dengan masalah, Johnson & Johnson (Moh Umar & Max HWaney.1980), mengatakan ada ketidak-cocokkan atau perbedaan antara keadaan yang nyata dengan keadaan yang dikehendaki. Dapat dikatakan bahwa masalah/problem adalah suatu keadaan yang negatif yang tidak sesuai dengan keadaan yang diharapkan.
Secara umum ada tiga cara pemecahan masalah, yaitu:
1.      Pemecahan masalah secara otoritatif, yaitu pemecahan oleh penguasa yang berwenang (pejabat, guru). Dalam hal ini sifat siswa pasif, karena segalanya (isi, tujuan, dan cara belajar) yang menentukan adalah guru.
2.      Pemecahan secara ilmiah, yaitu pemecahan yang menggunakan beberapa metode, misalnya inkuiri, discovery, problem solving, dan sebagainya.
3.      Pemecahan secara metafisik, yaitu pemecahan yang menggunakan cara-cara yang tidak rasional, misalnya secara gaib.
Dari ketiga cara pemecahan masalah di atas, yang paling rasional dan sesuai dengan dunia pendidikan adalah pemecahan secara ilmiah. Menurut Mukminan (2000:2), pengetahuan atau yang sering disebut ilmu itu dapat dikatakan ilmiah, apabila:
1.      Mempunyai obyek, artinya apabila akan mencari kebenaran maka ilmu itu harus sesuai dengan obyeknya. Bukan lagi gunanya yang dipentingkan, melainkan kebenarannya, sebab tujuan ilmu yang utama adalah untuk mencapai kebenaran.
2.      Mempunyai metode, artinya untuk mencari kebenaran itu menggunakan metode ilmiah.
3.      Bersifat universal, artinya bersifat umum dilihat dari segi waktu dan tempat
4.      Mempunyai sistem, artinya susunan hal-hal yang ada sebagai keseluruhan itu mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Landasan pemecahan masalah adalah berpikir kritis, cara berpikir kritis ini melalui suatu proses sebagai berikut:
1.      Menyadari adanya suatu masalah.
2.      Mencari petunjuk untuk pemecahannya:
a.       Pikirkan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya (hipotesis) dan pendekatannya
b.      Ujilah kemungkinan-kemungkinan tersebut berdasar kriteria-kriteria tertentu
3.      Pergunakanlah suatu pemecahan yang cocok dengan kriteria dan tanggalkan kemungkinan pemecahan lainnya.

KLASIFIKASI ANAK TUNAGRAHITA





Klasifikasi berdasarkan skor IQ WISC (dalam Efendi, 2006):

a.   Ringan (Mild atau Debil atau Moron)
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain:
1)   Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan.
b.  Sedang (Imbecile atau Moderate)
Anak tunagrahita mampu latih atau imbecile adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedimikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu:
1)      Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri.
2)      Belajar menyesuaikan lingkungan rumah atau sekitarnya.
3)      Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja, atau di lembaga khusus.
Kesimpulannya, anak tungrahita mampu latih berarti anak tunagrahita yang hanya dapat dilatih untuk megurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (daily living), serta melakukan fungsi social kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c.   Berat atau Idiot (IQ 0-25)
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. A child who is an idiot is so low intelectually that he does not lern to talk and usually does learn to take care of his bodily need (kirk & Johnson dalam Efendi, 2006). Dengan kata lain, anak tunagrahita rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton dalam Efendi, 2006).

BELAJAR MELALUI PENGALAMAN




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tujuan dari belajar bukan semata-mata berorientasi pada penguasaan materi dengan menghapal fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi atau materi pelajaran. Lebih jauh daripada itu, orientasi sesungguhnya dari proses belajar adalah memberikan pengalaman untuk jangka panjang. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Proses pembelajaran harus bisa menciptakan suatu proses belajar yang dapat mengeksplorasi wawasan pengetahuan siswa dan dapat mengembangkan makna sehingga akan memberikan kesan yang mendalam terhadap apa yang telah dipelajarinya. Alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran belajar melalui pengalaman atau biasa disebut experiential learning.
Model pembelajaran experiential learning merupakan model pembelajaran yang diharapkan dapat menciptakan proses belajar yang lebih bermakna, dimana siswa mengalami apa yang mereka pelajari. Melalui model  ini, siswa belajar tidak hanya belajar tentang konsep materi belaka, hal ini dikarenakan siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran untuk dijadikan sebagai suatu pengalaman. Hasil dari proses pembelajaran experiential learning tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, juga tidak seperti teori behavior yang menghilangkan peran pengalaman subjektif dalam proses belajar. Pengetahuan yang tercipta dari model ini merupakan perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.



KONSEP, TEORI, FAKTA, DAN GENERALISASI PENDIDIKAN IPS SD



1.      Guru mampu memilih metode yang tepat
Metode pembelajaran adalah cara-cara atau tehnik penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik individual maupun secara kelompok. Agar tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, seorang guru harus mengetahui berbagai metode. Dengan memiliki pengetahuan mengenai sifat berbagai metode maka seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi.

Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode pembelajaran
Dalam  memilih dan menganalisis metode pembelajaran, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1.      Keadaan murid yang mencakup pertimbangan tentang tingkat kecerdasan, kematangan, perbedaan individu lainnya.
2.      Tujuan yang hendak dicapai, jika tujuannya pembinaan daerah kognitif maka metode driil kurang tepat digunakan.
3.      Situasi yang mencakup hal yang umum seperti situasi kelas, situasi lingkungan. Bila jumlah murid begitu besar, maka metode diskusi agak sulit digunakan apalagi bila ruangan yang tersedia kecil. Metode ceramah harus mempertimbangkan antara lain jangkauan suara guru.
4.      Alat-alat yang tersedia akan mempengaruhi pemilihan metode yang akan digunakan. Bila metode eksperimen yang akan dipakai, maka alat-alat untuk eksperimen harus tersedia, dipertimbangkan juga jumlah dan mutu alat itu.

PENGAMALAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI - HARI




PEMBAHASAN

2.1 Pengalamanku mengamalkan sila-sila pancasila
Dalam kehidupan sehari –hari kita tidak pernah terlepas dari apa yang termuat dalam sila-sila pancasila baik dalam sikap maupun prilaku. Semua itu bersumber dari pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia dan merupakan sumber hokum nasional.
Ini merupakan pengalaman saya mengamalkan sila sila pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.1.ketuhanan yang maha esa
            Sebagai warga Negara Indonesia yang merupakan Negara atas dasr ketuhanan tentunya setiap warganegaranya mempunyai agama dan keyakinan. Pengalaman saya mengamalkan sila yang pertama ini lumayan sulit karena terhalang oleh beberapa paktor ;
A.Pengaruh teman
Teman merupakan paktor pendukung yang penting dalam upaya meningkatkan keimanan kita terhadap tuhan yang maha Esa. Kita selaku manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, begitu juga dengan pengamalan sila yang pertama kita memerlukan dorongan dam motifasi dari teman dan orang terdekat kita . apabila tema melakukan hal yang kurang baik maka secara otomatis kita akan ter pengaruh dengan prilaku yang dilakukannya. Contohnya apabila teman kita tidak sholat maka kita akan terpengaruh untuk tidak sholat juga begitu juga sebalik nya.